Aku benar-benar tak menyembunyikan apapun dimeja kerja ini, di dapur ini, di balik wajah yang buruk ini. Semuanya telah kukatakan sejujurnya, dan supaya tiada dusta di atas dusta. Waktu berlalu seiring dengan aktifnya matahari yang masih setia menyinari bumi, yang begitu cerahnya bahkan terang sekali menuruti kemauan bumi.
Hati itu kini telah sangat tercabik. Wahai mentari yang biasa bersinar, kini kau telah menunaikan janjimu untuk lelah berjalan bersamaku. Aku memang bumi yang senantiasa gelap tanpa bantuanmu. Tiada bulan yang sinarnya hanyalah pantulan cahayamu, tiada keindahan lagi yang bisa menjadikanku tersenyum dan tersipu malu.
Ruang-ruang kecil itu bahkan kini harus dipupuskan. Kau bilang, aku akan bisa mengulangi kejadianku bersamamu dengan orang lain??? Kau kira aku apa??? Murah sekai??? Sakit rasanya, terlalu dini untuk mengatakan hal itu kepadaku. Jujur agaknya tidak enak dirasakan. Baru sekali ini aku bermain-main tapi ibuku memanggilku dan menyuruhku pulang. BAru sekali aku mengenalmu, tapi kau tampar aku dengan prasangkamu itu. Cukup sudah, semua memang kesalahanku wahai matahariku...
Maafkan aku, sakit rasanya menuntaskan ini, tapi ini harus selesai dan disudahi secepatnya.
Salah memang, ketika harus menuruti perasaan itu, salah memang sakit itu, hati ini salah mengefektifkan kinerjanya. Hati ini memang telah salah berinteraksi, hingga benar-benar sakit ketika obat itu harus menghapus lukanya.
Ah, sudahlah. tidak selayaknya berlarut dalam urusan ini, karena esensinya, sakit tetaplah sakit. Nasi sudah menjadi bubur. sebaik apapun niat memperbaiki dengan cerita yang baru itu tidak akan menghapus yang sudah-sudah. Percuma. Anggap saja kita tidak pernah kenal. Lupakan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar