Indonesia saat ini tengah mengalami krisis. Biasa disebut dengan krisis multidimensi. Mengapa demikian, karena telah merambah ke segala bidang kehidupan. Baik sektor moral, pendidikan, politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Jika diselidiki asal muasal penyebab krisis multidimensi ini adalah degradasi moral yang telah jatuh pada lantai terbawah. Pelitnya para pemuda dalam merencanakan cita-citanya dan loyalnya para pemuda dalam memberi ruang pada kebudayaan barat masuk di tengah-tengah globalisasi. Sementara para pemuda tidak sadarkan diri ketika mereka benar-benar hanyut dalam kehidupan hedonisme dan westernisasi. Hal tersebut ada karena masayarakat terutama pemuda yang notabene dinobatkan sebagai generas penerus yang harusnya merubah kebiasaan-kebiasaan barat yang jauh dari nilai-nilai moral ketimuran. Nila-nilai ketimuran saja tergusur oleh budaya barat, apalagi nilai-nilai religiusnya? Kini malah sebaliknya, mereka lebih terbiasa hidup dalam arena terjajah seperti saat ini.
Memang sudah menjadi sunatulloh kalau dalam menegakkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari itu pasti ada ujiannya. Sejauh mana kita mau berlindung pada Alloh dalam menghadapai krisis-krisis ini maka sejauh itu pula usaha yang kita tempuh akan menjawab semuanya. Krisis ini sudah pasti disebabkan oleh distribusi substansinya yang tidak merata. Hal ini mungkin juga di sebabkan oleh egoisme sektor-sektor di Indonesia yang terkesan tidak saling mendukung satu sama lain sehingga menyebabkan permasalahan krisis ini hanya di tangani beberapa sektor saja atau tidak bekerja sama satu sama lain. Bagaimana seharusnya jalan keluar dari krisis ini masih sangat perlu disadari dan diamalkan oleh seluruh bangsa Indonesia.
Bahkan ada pada sekelompok organisasi masyarakat yang terkesan tidak mendukung antara sektor satu dengan sektor lainnya. Misalkan saja terkait masalah pendidikan. Jika suatu kelompok merasa pendidikan tidak perlu dukungan dan koalisi dengan masalah politik, maka hasil akhirnya juga pasti jatuh lagi pada krisis multidimensi. Padahal pembeberan makna kata politik itu bukan sekedar partai, anggota DPR, dan korupsi misalnya. Jika kita mau menelaah bagaimana sebenarnya politik Rosululloh dan para sahabat, kita pasti tau bagaimana memadukan sektor-sektor itu supaya tidak ada satu bidang yang terbelakang dan ter-black list.
Merasakan getirnya krisis-krisis tersebut sebenarnya ada jalan keluar yang mampu menjadi solusi yang tepat untuk permasalahan ini. Solusi yang paling tepat untuk masalah ini bukan dengan meminta bantuan utang atau tenaga ahli sebanyak-banyaknya dari negara lain. Mulailah dari percaya pada output negara kita sendiri. Kurangnya percaya pada cendekiawan-cendekiawan kita juga akan mempengaruhi kita untuk terus bergantung pada negara lain dalam urusan dapur negara kita. Karena berapa pun bantuan dan utang yang dikucurkan oleh lembaga keuangan dunia serta berapa pun tenaga ahli yang dikirimkan tidak akan mampu menjadi solusi yang baik bahkan sia-sia jika tidak didukung oleh “character and nation building” oleh bangsa Indonesia. Jadi , solusi itu adalah dengan membangun dan menata kembali karakter dan watak bangsa kita sendiri. Namun hal ini dirusak oleh bangsa Indonesia sendiri sejak dulu, sejak jatuhnya masa orde baru yaitu ketika kehidupan politik, budaya dan ideologi bangsa juga mengalami krisis. Hal ini juga makin diperparah dengan terpecah belahnya kesatuan wilayah dan hati bangsa Indonesia. Itu menyebabkan upaya perbaikan nasib rakyat menjadi lebih buruk di bandingkan sebelumnya.
Membangun karakter bangsa adalah satu-satunya solusi yang tepat dalam menghadapi krisis ini. Hal yang menakjubkan ini hanya pernah di terapkan oleh presiden pertama kita yaitu Bung Karno pada saat itu bangsa Indonesia masih memiliki kebanggan sebagai bangsa Indonesia dengan karakternya sendiri, yaitu kesatuan seluruh wilayah dan hati bangsa Indonesia serta kepercayaan diri bangsa Indonesia yang tinggi sehingga mampu menjadi bangsa yang patut dibanggakan. Namun, fondasi karakter itu telah rusak karena tidak di teruskan semangatnya oleh penerus selanjutnya sehingga fondasi karakter bangsa ini rusak. Sehingga yang ada pada saat ini utang semakin membumbung, korupsi merajalela, pejabat bisa di beli, rasa persatuan berkurang, dan konflik antar bangsa Indonesia sudah makin luntur. Namun, semua hal itu bisa ditanggulangi kembali dengan memupuk dan membangun rasa persatuan di berbagai bidang. Rasa persatuan ini memicu bangsa Indonesia untuk terus bekerja sama dalam menghadapi krisis multidimensial ini. Dan persatuan itulah yang menjadi karakter kita. Dan percaya pada hukum-hukum Allah supaya Negara ini kembali. Bahwasanya ketika semua manusia mau tunduk pada aturan-aturan yang sudah nas dari Allah swt maka jadilah Indonesia penuh berkah. Mari selesaikan denganm islami, mengingat rakyat Indonesia dominasi Islam. Wallohua’lam.
RESUME FIQH DAKWAH (MUSTHAFA MASHYUR)
Kesibukan masyarakat kini berkembang begitu cepat dan pesat, melampaui kecepatan berpikir manusia( Dr. Ali Gom'ah, Mufti Negara Mesir). Realita ini berdampak pada munculnya penyikapan-penyikapan yang cenderung datar dan mengambang dari berbagai macam lapisan masyarakat, termasuk diantaranya para da'i. Sehingga tidak jarang sikap-sikap tersebut bukannya menyelesaikan masalah. Akan tetapi malah sebaliknya, semakin menambah runyam permasalahan yang ada.
Dengan mengikuti kaidah-kaidah ini, diharapkan para da'i dapat lebih arif dalam menyikapi setiap permasalahan yang sedang terjadi serta mampu menyelesaikannya. Hal ini tentunya akan sangat mendukung keberhasilan dalam berdakwah.
1. Mengaitkan akar permasalahan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Seorang da'i jangan hanya berupaya menangani sebuah permasalahan dari akarnya, tanpa mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari masyarakat, sehingga tampak kaku dan kurang dapat dicerna oleh masyarakat. Jangan pula hanya terkonsentrasi kepada apa yang muncul dipermukaan, tanpa memperhatikan akar permasalahan yang sebenarnya.
2. Pengecekan terlebih dahulu validitas informasi yang didapat sebelum mengambil sikap dan melakukan reaksi. Seorang da'i tidak diperkenankan menerima begitu saja informasi yang beredar di masyarakat dari berbagai media massa. Akan tetapi dia harus melakukan cek dan ricek terlebih dahulu kepada sumber yang betul-betul dapat dipercaya. Baru kemudian menentukan sikap yang tepat.
3. Memilih solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah antara diam atau melakukan reaksi. Karena tidak semua permasalahan harus diselesaikan dengan melakukan sebuah reaksi. Banyak diantara permasalah justeru akan lebih cepat selesai dengan cara diam.
4. Menghindari pemerataan (ta'mim), baik dalam mengungkapkan pujian ataupun celaan. Sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
"Dan diantara Ahli Kitab ada yang jika engkau percayakan kepadanya harta yang banyak, niscaya dia mengembalikannya kepadamu. Tetapi ada (pula) diantara mereka yang jika engkau percayakan kepadanya satu dinar, dia tidak mengembalikannya kepadamu, kecuali jika engkau selalu menagihnya." (Ali Imran: 75).
5. Tidak gegabah dan tergesa-gesa dalam upaya penyelesaian masalah. Dengan kata lain, pengambilan sebuah sikap dan tindakan haruslah didasari pertimbangan yang matang; apakah tindakan yang akan diambil efektif ataukah tidak?
Kewajiban seorang da'i dalam menyikapi sebuah permasalahan adalah berupaya untuk menyelesaikannya (tafa'ul ma'al isykal). Bukan menampakkan perasaan emosi dan marah dengan segala cara (infi'al bil musykilah).
Poin ini sangat penting untuk diperhatikan. Karena pengambilan tidakan yang salah justeru akan membuat permasalahan menjadi semakin besar.
Ambil saja contoh aksi-aksi pelecehan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Barat yang berhaluan ekstrim dan fundamental, terhadap Al-Qur`an atau Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.
Mayoritas umat Muslim, yang diantaranya mendapatkan arahan dari sebagian pemuka agama Islam, menyikapinya dengan kepala panas. Sehingga pada akhirnya berbuntut pada tindakan-tindakan anarkis seperti pembakaran, pengrusakan, penghancuran aset-aset Barat dan lain-lain.
Berbagai tindakan ini kemudian dimanfaatkan oleh media massa barat untuk semakin memojokkan Islam. sehingga tidak heran jika kemudian banyak diantara orang Barat yang asalnya tidak peduli atau bahkan mengecam tindakan pelecehan tersebut, menjadi berubah pikiran dan berbalik arah mengecam tindakan-tindakan anarkis umat Muslim. Citra Islam menjadi semakin buruk di mata Barat.
Dengan demikian, secara tidak sadar berarti kita telah mempersempit atau bahkan menutup pintu kesuksesan untuk berdakwah dan misi islamisasi di Barat.
Segelintir orang yang melakukan pelecehan tersebut, semakin bergembira dan tertawa terbahak-bahak menikmati hasil upaya mereka yang jauh melampaui apa yang mereka bayangkan sebelumnya.
Namun, bukan berarti kita hanya diam membisu menyaksikan pelecehan-pelecehan tersebut. Kita tetap harus mengambil sikap serta melakukan tindakan untuk menghentikannya. Hanya saja, sebelum melakukannya, terlebih dahulu harus dipikirkan masak-masak efektifitas tindakan tersebut.
Jika seandainya saat itu umat Islam tidak melakukan tindakan-tindakan anarkis serta menyerahkan penyelesaian masalah kepada para ulama dan kemudian para ulama mengambil tindakan-tindakan yang dianggap efektif untuk menghentikannya. Misalnya dengan mengadakan dialog-dialog terbatas dengan para pemuka Barat. Tentu kenyataannya akan berbeda.
6. Berupaya semaksimal mungkin menghindari adanya indikasi pemihakan (tahayyuz) terhadap kelompok tertentu dalam penyampaian sikap. Seorang da'i haruslah mengambil kebenaran serta berupaya meluruskan kesalahan dari kelompok manapun.
7. Menghargai para ahli dalam bidang apapun (ihtirom al takhosshush). Atau dengan kata lain, seorang da'i tidak diperkenankan untuk berbicara tentang sesuatu yang tidak ia kuasai.
Seorang da'i yang kurang menguasai ilmu ekonomi misalnya, seharusnya tidak berbicara panjang lebar mengenai sebab-sebab krisis ekonomi serta solusi dalam mengatasinya. Agar tidak menjadi bahan tertawaan para ekonom.
Contoh lain, seorang da'i yang kurang menguasai pemikiran liberal serta cara membantahnya misalnya, tidak selayaknya melakukan debat terbuka dengan kaum liberal. Agar tidak menjadi bahan tertawaan masyarakat, sehingga mengesankan seolah-olah kaum liberal-lah yang berada di jalan kebenaran.
Bukanlah sebuah aib, jika seorang da'i mengatakan; saya tidak tahu.
8. Menghindari cara-cara yang justeru dapat memperluas permasalahan pada masyarakat umum. Seorang da'i janganlah berpidato atau berceramah tentang sebuah permasalahan, di hadapan masyarakat yang sama sekali tidak mendengar dan tidak tahu-menahu permasalahan tersebut. Kecuali sekedar untuk memperingatkan mereka agar jangan sampai terjerumus kedalamnya.
Seorang da'i janganlah berceramah panjang lebar tentang liberalisme mislanya, dihadapan masyarakat pedesaan yang sama sekali tidak mengetahui hal ini. Kecuali sekedar mengingatkan mereka agar jangan sampai mengikuti orang-orang yang berpikiran nyeleneh dan berpesan agar tetap berpegang teguh dengan apa yang diajarkan oleh para as-salafus shalih.
9. Menghindari sikap ambivalensi (plin-plan) dalam menyikapi sebuah permasalahan. Seorang da'i janganlah berkata A di timur, tapi kemudian berkata B di barat.
Tidak ada masalah seandainya dia hanya menerapkan cara yang berbeda dalam menyampaikan sikap, sesuai dengan situasi masyarakat yang sedang ia hadapi, tetapi dengan syarat subtansinya harus tetap sama. Yang terlarang adalah ambivalensi sikap yang sampai pada taraf berlawanan. Karena hal ini dapat menghilangkan kepercayaan kedua kelompok masyarakat terhadapnya.
Satu contoh, Ketika terjadi kasus pelecehan terhadap Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam oleh salah satu media massa Denmark, ada seorang da'i yang tidak diragukan keikhlasannya dalam berdakwah, jatuh martabatnya gara-gara tidak mengikuti kaidah ini. Kepada umat Islam dia menyeru untuk melakukan pemboikotan terhadap produk-produk Denmark. Tetapi ketika dia berkunjung ke Barat dan ditanya apakah dia menyeru untuk melakukan pemboikotan, dia menyatakan tidak. Selang sehari setelah pernyataanya itu, beberapa media massa memuat fotonya di bawah judul; Syekh Pembohong Besar. Tak ayal lagi, kepercayaan masyarakat terhadapnya menjadi pudar. Baik dimata umat Islam maupun dimata masyarakat Barat.
10. Menghindari penyebutan nama individu atau kelompok yang sedang dikritik sebisa mungkin. Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, dengan menggunakan kalimat; "ma balu qaumin" dan yang semisal tanpa menyebutkan nama kaum tersebut.
Perlu ditegaskan bahwa tugas seorang da'i adalah berupaya meluruskan sebuah kesalahan (mu'alajah al-khatha'). bukan memusuhi orang yang melakukan kesalahan (mu'adah al-mukhthi').
Wallahu A'lam bis Showab.
Nama: Indah Setiowati
Komsat: Blitar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar