Selasa, 14 Juni 2011

Cerpen calon novel

Setiap pertemuan pastilah akan berjumpa dengan perpisahan. Dikala kata tak sanggup lagi diteriakkan, maka ujung pena akan menggoreskan segalanya. Rumi adalah seorang gadis yang dikala petang ia mendengkur dikala padang ia bersemangat menghadap masa depan. Disaat yang lain rapuh, ia selalu seperti mendapat hidayah yang luar biasa. Satu kata untuknya SEMANGAT! Dunia akan menjadi santapan paginya saat itu, ketika hidup adalah seleksi alam, maka ia benar-benar ingin menjadi seorang competitornya. “Mengapa Rumi sesemangat itu?”, tanya seorang wanita belia yang juga teman sepermainannya. Karena usianya yang masih muda, semangatnya subhanalloh memporak-porandakan hati manusia baru. “Mumpung”, jawab sang Rumi. Ia seperti enggan berpikir tentang kegagalan, suatu hari ia harus menghadapi yang namanya kejutan, disaat perkuliahannya diliburkan karena ada fogging kelas, ia keluar dari kampusnya, kemudia ada seorang laki-laki memanggilnya. “Mbak, maukah ikut dengan program yang kubawa kali ini”, celoteh sang ikhwan sambil membelai lembar demi lembar kertas yang ada di tangannya. Ia segera mengawali membaca kertas pertama yang didapatkannya. OMI. Dalam hatinya “Apakah OMI, itu kah yang pernah diceritakan seorang guru BK ku saat SMA, organisasi di masa kuliah yang berbasis islam”, sekelebat pikirannya tergugah. “Ehm maksudnya apa mas ini?”, celetuk Rumi sengit. Awalnya pernah ada larangan terkait ikut organisasi islam oleh guru BKnya berhubung ia juga baru saja lulus SMA. Dilihat dari kertas yang diberikan sang ikhwan itu, sepertinya sudah tak menggairahkan. Mana ketikkannya melenceng. Tak diliriknya lagi. Di taman depan kampus, kakinya serasa ingin beranjak dari sana, “Sepertinya akan diajak ngobrol nih aku”, batinnya menggerundel. Setiap pembicaraan adalah mengenai harokah yang juga ia ikuti jauh sebelum berkenalan dengan OMI saat itu. Pikirnyapun mulai terbuka karena ia merasa sefikroh dengan organisasi yang satu itu. “Selesai juga orang ini promosinya”, mendukung hasrat ingin kaburnya. Siang itu ia langsung tancap transportasi umum di daerahnya untuk kembali pulang karena libur seharinya telah tiba. Betapa itu sangat menyenangkan baginya, karena ia benar-benar hampir tidak pernah liburan. “Ahayy mau tidur akuuuu”, dalam hati berteriak senang.


1 Pesan diterima. Dari nomer yang kemarin disimpannya dari ikhwan yang suka promosi itu. Sms yang bernafaskan undangan supaya ia ikut Dauroh OMI di Aperbendon. “Entah ya, karena OMI adalah yang pernah aku pelajari, yang aku pelajari mirip OMI so ikut deh”, pikirnya enteng. Sambil terus membagi waktunya dengan bekerja, kuliah, dan dauroh ini, jadi dengan hati biasadan tanpa mind planning, ia harus datang ke salah satu tempat dimana dauroh itu berlangsung. Sepulang kuliah ia sudah membuat janji untuk berangkat bersama Hafidzah temannya. “Naik kol ini saja ya mbak”, tanya Rumi kepada Hafidzah.”Ehem”, senyum kecilnya keluar. Kaki melangkah memasuki kampung yang lumayan padat penduduknya. Barisan 2 gelintir akhawat ini cukup tegap dan semangat. “Eh salah Rumi, ini bukan tempatnya”, kata sentilan dari Hafidzah yang ternyata juga tak tau betul lokasinyadan hamper masuk rumah orang tak dikenal. “Hmm, Tanya saja yuk mbak!”, tegas seorang Rumi yang masih bau kencur pada gadis yang 4 tahun jauh lebih tua. “Yakin dek di depan itu pasti tempatnya”, sahut Hafidz. Keringat dan wajah kucelnya si Rumi sudah tak bisa disembunyikan lagi. Mata kuliah yang cukup memeras otak tadinya, membuatnya kaku ketika diajak berjalan mencari lokasi dauroh. “Stoooooop, plak pluk plik!”, tiba-tiba Rumi memberhentikan langkah tegap sang Hafidz. Dibagian pinggang Hafidz sudah hampir tersentuh setir motor orang lewat. “Astaghfirulloh”, kaget sang Hafidz. Masih saja jalanan tak menandakan finishing, ketika tiba-tiba melintas dan menoleh ke kanan “Mbak, ini kan tempatnya?”, taya Rumi sambil gemeteran melihat Hafidz yag hampir keserempet motor. Layaknya tamu agung yang suka disambut, jalan masuk yayasan tersebut terasa aura islaminya. Aperbendon kala itu diiring gemuruh angin sawah yang saat itu tepat berada di dekat lokasi, sempat meniup daun- daun dan jilbab besar 2 akhawat itu. Sluuuuuuur “Eit, mbak, kok semuanya ikhwan, apa tidak ada akhwatnya ya?”, celetuk Rumi sambil menyelinap di belakang Hafidz. “ups, iya ya duh kita jalan kemana nih banyak ikhwan”, jawab gadis berkacamata tebal itu. Saat itu yang nampak hanyalah orang-orang yang notabene ikhwan yang tepat duduk di persimpangan pintu masjid. Tiba-tiba ada seorang akhwat yang dipanggil ikhwan mungkin untuk keluar dari masjid dan menemui tamu agung itu, ciyee. “Assalamualaikum”, salam yang bersamaan antara mereka bertiga. Kan barang siapa yang mengucapkan salam lebih dahulu lebih baik dan berpahala lebih dari yang mendapat salam. “Wa’alaikumussalam”, sambil akhawat yang di ID Card nya bernama Dedew tersenyum manis. “Silakan masuk, acaranya sudah dimulai ukh”, seru ukhti Dedew ketika itu.


TO BE CONTINUE

Tidak ada komentar:

Posting Komentar